Rabu, 10 November 2010

DA’WAH MELALUI PEMBERDAYAAN EKONOMI UMMAT


Oleh: Imam Saridho, S.Sos.I
A.    PENDAHULUAN
Islam KTP.  Itulah sebuah judul film yang akan tayang menjelang ramadhan tahun 2010 ini di sebuah stasiun TV swasta. Istilah itu tidaklah asing ditelinga kita semua, yang mempunyai makna bahwa orang ber-Islam hanya sebatas KTP saja, tanpa ada nilai-nilai dan aplikasi ke-Islaman yang dilaksanakan. Sehingga, Islam hanya sekedar tulisan tanpa makna pada KTP. Istilah Islam KTP sebenarnya merupakan gambaran nyata kebanyakan masyarakat Indonesia, dimana Islam di Indonesia adalah terbesar di dunia dari segi kuantitas namun minim dari segi kwalitas Islam Kaffah.
Istilah Islam KTP mungkin saja “metamorfosa” dari dari Islam abangan yang istilah tersebut ditelurkan oleh orientalis barat Snouck hurgronje. Kedua istilah ini ada kesamaan makna yaitu Orang ber-Islam hanya sebatas simbol saja, tanpa ada pelaksanaan nilai-nilai Islam itu sendiri. Hal ini (baca: Islam KTP) tentunya menjadi PR besar bagi seorang da’i agar terus berda’wah, untuk menjadikan mereka tahu, faham dan melaksanakan ajaran Islam secara kaffah. Tidak mudah memang, perlu perjungan yang panjang. Istilah-istilah diatas bukanlah satu-satunya tantangan yang akan dihadapi seorang da’i, masih banyak banyak problematika dilapangan.
Pengangguran yang berdampak pada kemiskinan, itu juga menjadi masalah. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) Jumlah penganggur terbuka Februari 2010 sebanyak 8,59 juta orang (7,41 persen). Untuk pengangguran terselubung pekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 8 jam sekitar 1,48 juta orang (1,38 persen). Sedangkan untuk jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen) dari seluruh penduduk Indonesia.[1] Masih cukup tingginya angka pengangguran dan kemiskinan akan memicu (walaupun tidak seluruhnya) kepada kekafiran. Sebuah hadits menyebutkan: kefakikaran akan membuat kekufuran. Syaikh Al-Bani mengomentari hadits tersebut dalam  السلسلة الضعيفة والموضوعة (77/9) sebagai hadits yang dhaif.[2] Tetapi paling tidak, kemiskinan-kemiskinan yang terjadi jika dibiarkan dan tidak segera diantisipasi dengan keilmuan dan bantuan, maka cepat atau lambat kekufuranlah yang akan terjadi. Sebagai contoh adalah merebaknya kristenisasi yang saat ini marak terjadi dimana-mana. Satu diantara sekian banyak penyebabnya adalah faktor kemiskinan.
Dalam istilah lain, dua problem diatas disebut sebagai kemiskinan ekonomi dan kemiskinan rohani. Kemiskinan adalah kemiskinan karena ketiadaan materi. Sementara kemiskinan rohani adalah kemiskinan karena ketiadaan iman, akhlak, dan ilmu pengetahuan. Dan kemiskinan yang kedua inilah yang sangat mengkhwatirkan.[3]
Oleh karena itu seyogyanya seoprang da’i selain dituntut tafaqquh fiddin (faham agama) juga tafqquh fil maal (faham perekonomian). Selain dapat mencerahkan mad’u dengan ceramah, tulisan dan khutbahnya, juga dapat memberikan jalan keluar terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi mad’u. Seorang da’i juga dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam berda’wah. Bentuk kreatifitas dan inovasi da’wah adalah mendirikan BMT, pengelolaan ZIS, penciptaan lapangan pekerjaan/ wirausaha, dan lain-lain.

B.     SOLUSI PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
1.      Bait Al-Mal wa Al-Tamwil  (BMT)
Bait Al-Mal wa Al-Tamwil yaitu suatu lembaga keuangan yang dengan sengaja dibentuk untuk membiayai bidang usaha ekonomi lemah atau menumbuhkan kewiraswastaan, kewirausahaan (entrepreneurship) dikalangan kaum muslimin yang saat ini amat sangat ketinggalan dibandingkan dengan pengusaha lain yang non muslim.[4] Kenapa harus BMT? Menurut ketua Asosiasi BMT se-indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah (ASBINDO dan MES) Aries Muftie, bahwa negara-negara berkembang seperti Bangladesh, Filipina, Pakistan dan Sudan lembaga keuangan mikro berkembang pesat dan digunakan sebagai alat mengentaskan kemiskinan. Maka syogyanyapun BMT sebagai keuangan mikro diharapkan mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia.[5]
Menurut DR. M Abdurrahman, M.A, bahwa penduduk Indonesia adalah kaum muslimin yang secara geografis kurang lebih 27 juta jiwa masih dibawah garis kemiskinan termasuk didalamnya yang masih tingkat prasejahtera yang jumlahnya sekitar 11 juta jiwa. Jumlah yang amat banyak tersebut, jika dilihat dari sudut aqidah akan sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan konversi agama. Oleh karena itulah BMT sebagai lembaga mikro  berdasarkan prinsip kemitraan, “bebas riba” yang sasarannya adalah orang yang tidak mampu, dan ini menjadi kesempatan yang amat baik buat mereka untuk aman lepas dari belenggu kemiskinan tanpa harus menggadaikan aqidah.[6]
2.      Pengelolaan ZIS (Zakat, Infaq dan Shadaqoh)
ZIS (Zakat Infaq dan shodaqoh) merupakan 3 hal yang hampir serupa tapi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda.
Zakat secara bahasa suci dan subur, sedang menurut istilah syara’ ialah kadar yang diberikan kepada yang berhak menerima dengan beberapa syarat. Contohnya adalah zakat fitrah dan zakat mal.[7]
Infaq adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang baik yang sunnah maupun yang wajib. Yang sunnah adalah yang tidak ditentukan nilainya, sasarannya dan waktu. Seseorang dapat berinfaq kapan saja, dimana saja dan besarannyapun berapa saja, begitu juga sasarannya tidak ditentukan secara speseifik tetapi lebih fleksibel. Misalnya kotak amal yang terdapat di masjid-masjid dan lain-lain. Sementara yang wajib adalah yang ditentukan nilainya (2,5%, 5%, 10% atau 20%, dan lain-lain) diantara infaq yang wajib adalah zakat.
Shadaqah adalah sesuatu yang diberikan oleh seorang dapat berbentuk materi misalnya uang atau barang, atau pun non materi misalnya senyum, seperti yang dtegaskan oleh Rasulullah saw.[8]
Jika zakat, infaq dan shodaqoh dikelola dengan baik dan professional, maka akan dapat membantu kaum dhuafa’, anak yatim dan mengentaskan kemiskinan. Hal ini dapat kita lihat dari mustahik (yang berhak menerima) zakat diantaranya ada 8 ashnaf yang terdapat dalam Surat At-Taubah; 60, yaitu:
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(At-Taubah; 60)

Dalam hal pendistribusian zakat, sebagaimana tercantum pada ayat diatas, Nampak adanya pos-pos yang termasuk kepentingan bersifat umum yaitu;
pertama, memenuhi kebutuhan yang kesulitan hidup, yang meliputi orang fakir, miskin, budak-budak dan orang yang berhutang.
Kedua, untuk membela agama Allah swt, menjunjung tinggi agama dengan melaksanakan jihad dijalan-Nya.
Ketiga, untuk menjinakkan orang yang lemah iman serta memberikan imbalan kepada panitia sebagai imbalan atas jasa mereka, disamping untuk menjaga keinginan mereka terhadap harta milik orang lain.[9]
Menurut Dr. Didin Hafidudin, M.Sc. selain manfaat didapat oleh penerima ZIS, juga teramat bermanfaat bagi orang yang berzakat, berinfaq dan bershodaqoh, antara lain sebagai berikut :
a. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT., mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlaq mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki (perhatikan QS. 9:103; 30:39; 14:7)
b. Karena zakat merupakan hak bagi mustahiq, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT., terhindar dari bahaya kekufuran sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya.
c. Sebagai pilar amal jama'i antara kelompok aghniya'  dengan para mujahid yang seluruh waktunya dipergunakan untuk berjuang di jalan Allah SWT., sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafakah diri dan keluarganya (perhatikan QS. 2:273).
d. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam.
e. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang batil.[10]

3.      Penciptaan lapangan kerja
Semenjak krisis moneter, banyak orang yang di PHK yang mengakibatkan pengangguran yang besar. Hal ini terjadi pada hampir semua lulusan, baik lulusan SD, SMP, SMU dan sarjana. Mereka banyak menggantungkan kehidupan kepada perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang telah banyak gulung tikar, sehingga merekapun tidak dapat bekerja lagi. Selain itu, fenomena yang terjadi adalah banyaknya rakyat Indonesia yang berkerja di luar negeri yang hanya menjadi TKI/ TKW, sedangkan banyak orang luar negeri seperti orang China dan Jepang yang datang ke Indonesia untuk menjadi “Big Bos” dan lagi-lagi orang-orang Indonesia juga yang menjadi pekerjanya. Artinya kreatifitas kita sebagai rakyat indonesia tidak berkembang. Keratifitas, Inovatif dan berani berkarya inilah yang harus selalu dipupuk sehingga dimanapun orang Indonesia tidak selalu menjadi kuli, pembantu dan tenaga kasar. Agar kita dan terutama negara kita tidak menjadi “Negara Kuli”.
Dunia keirausahaan yang kreatifitas dan inovatif perlu ditumbuh kembangkan untuk membantu dan memberdayakan mad’u. Wirausaha merupakan proses kemandirian seseorang didalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan berbasis pada proses usaha yang diciptakannya.[11] Jika kita mampu menciptakan usaha sendiri dan berkembang, secara otomatis kita akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan itu artinya kita membantu orang lain. Sebut saja salah seorang da’i juga seorang entrepreneur di Indonesia, yaitu Aa Gym. Pola yang selalu digaungkan Aa Gym adalah Manajemen Qolbu (MQ) sampai sejauh ini telah menghasilkan SDM yang unggul, hal ini terbukti dari berkembangnya perekonomian di lingkungan Daarut Tauhid dan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadapnya, diantaranya dengan kepercayaan untuk mengadakan pelatihan dan pendidikan manajemen untuk para eksekutif di PT Telkom, BNI, IPTN dan PT Kereta Api Indonesia. Mereka tertarik dengan konsep manajemen Daarut Tauhid karena diyakini mampu meningkatkan etos kerja dan menurunkan tingkat penyelewengan kerja, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).[12]
Sebelum Aa Gym dan orang-orang yang sukses berjaya, jauh-jauh hari Rasulullah telah sukses dengan wirausaha, Rasulullah adalah sosok wirausahawan ulung, pada usia 12 tahun beliau sudah berbisnis internasional. Pun demikian sahabat Abdurrahaman bin Auf, Utsman bin Affan. Semangat inilah yang harus kita serap sebagai generasi yang mengikuti Rasulullah, yang tidak hanya pada amalan aqidah dan ibadah, akan tetapi dari sosok entrepreneur-nya pun kita ikuti.[13]
C.    FASE PEMBINAAN
Setelah diuraikan beberapa problematika yang dihadapi seorang da’i yaitu kemiskinan ekonomi dan kemiskinan rohani, kemudian beberapa solusi dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi. Sekarang adalah fase pembinaan aqidah, ibadah dan akhlak mad’u yang telah direkrut dan diberdayakan dengan ekonomi.
Pada fase ini menjadi fase paling penting, karena di fase inilah da’wah sebenarnya ditegakkan. Adapun fase ini dapat dilakukan yaitu antara lain melalui pendidikan, membaca dan ta’lim rutin. Dengan seringnya mereka mengikuti kegiatan da’wah yang diadakan diharapkan mad’u tersebut menjadi shohih aqidahnya, baik akhlaknya dan benar ibadahnya. Dan inilah sesungguhnya tujuan da’wah yaitu mewujudkan Islam di bumi ini, menegakkan hak-hak uluhiyyah di alam nyata, menjadikan manusia berada di jalan yang diridhoi Alloh Subhanahu wa Ta`ala, merubah seluruh aspek kehidupan manusia dari kehidupan jahiliyah menuju kehidupan Islamiyah.[14]

F. PENUTUP
Tantangan yang dihadapi kaum muslimin baik dari intern maupun ekstern luar biasa dahsyat, ditambah dengan era terknologi informasi yang super canggih, dan globalisasi yang tak terbendung.  Da’i selain harus faham ilmu agama yang shohih, juga harus menguasai medan lapangan dan kemajuan zaman. Da’i dituntut mempunyai kreatifitas tinggi, berani mengambil resiko, serta inovtif terhadap da’wah yang dilakukannya. Hal ini harus dilakukan agar da’i tidak kalah atau bahkan mati langkah menghadapi tantangan yang dihadapi.

 
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1.      Prof. Dr. H Syahrin Harahap, M.A, Islam Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, Cet. 1.

2.      DR. M Abdurrahman, M.A, Dinamika Masyarakat Islam dalam Wawasan Fikih, Bandung: P.T Remaja Rosda Karya, 2006, Cet II.

3.      Drs. H. Ibrahim Lubis, Bc. Hk. Dipl. Ec, Ekonomi Islam suatu pengantar 2, Jakarta; Kalam Mulia, 1995, Cet. 1.



MAJALAH
Majalah Pengusaha Muslim, membangun mental wirausahawan muda, Edisi 6 volume 1, 15 Juni 2010, Hal 39.



WEBSITE
1.      http://www.bps.go.id/download_file/IP_Juli_2010.pdf

2.      http://www.ahlalhdeeth.com/vb//showthread.php?t=125497

3.      http://pkesinteraktif.pkes.org/download/bmt_pkes_secure.pdf

4.      http://jpsu.org/definisi-zis/

5.      http://www.oocities.com/tarjikh/Artikel/kh_didin_hafidudin1.htm

6.      http://www.mumyls.web.id/2009/03/abdullah-gymastiar

7.      http://hasmijaksel.wordpress.com/2010/01/19/sunniyyah-dan-jamaiyyah-dawah/





[1]  http://www.bps.go.id/download_file/IP_Juli_2010.pdf

[2]  http://www.ahlalhdeeth.com/vb//showthread.php?t=125497

[3] Prof. Dr. H Syahrin Harahap, M.A, Islam Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, Cet. 1, hal. 85

[4] DR. M Abdurrahman, M.A, Dinamika Masyarakat Islam dalam Wawasan Fikih, Bandung: P.T Remaja Rosda Karya, 2006, Cet II, hal. 95

[5] http://pkesinteraktif.pkes.org/download/bmt_pkes_secure.pdf

[6] DR. M Abdurrahman, M.A, Op Cit, Hal 96.

[7] Drs. H. Ibrahim Lubis, Bc. Hk. Dipl. Ec, Ekonomi Islam suatu pengantar 2, Jakarta; Kalam Mulia, 1995, Cet. 1, Hal. 729.
                                                                   
[8] http://jpsu.org/definisi-zis/
[9] DR. M Abdurrahman, M.A, Op Cit, Hal. 107.
[10] http://www.oocities.com/tarjikh/Artikel/kh_didin_hafidudin1.htm

[11] Majalah Pengusaha Muslim, membangun mental wirausahawan muda, Edisi 6 volume 1, 15 Juni 2010, Hal 39.

[12] http://www.mumyls.web.id/2009/03/abdullah-gymastiar

[13] Majalah Pengusaha Muslim, Op Cit, Hal 40.

[14] http://hasmijaksel.wordpress.com/2010/01/19/sunniyyah-dan-jamaiyyah-dawah/